Selasa, 27 April 2010

Demam Typhoid dan Diagnosis Laboratorium (Invitro Diagnostik)

Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisa, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.
Pemeriksaan laoratorium untuk menunjang diagonsis demam typhoid meliputi :
a. Hematologi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
b. Urinalisa
Protein : bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.
c. Kimia Klinik
Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.
d. Imunologi
1) Widal Slide
Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160, bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir minggu.
2) ELISA Salmonella typhi/ paratyphi lgG dan lgM
Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid atau Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan : bila lgM positif menandakan infeksi akut dan jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik.
3) Tes Tubex
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
e. Mikrobiologi Gall Culture
Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL, darah tidak segera dimasukan ke dalam media Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.
f. Biologi molekular
PCR (Polymerase Chain Reaction) Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi.

Saran :
1. Kepada Teman-teman di RS, cobalah untuk berpindah pemeriksaan widal slide yang tidak spesifik dan sensitif ke Tubex Test. Hal ini karena Widal merupakan pemeriksaan yang banyak sekali menyebabkan false positif. Contohnya saja saat demam, maka titer akan positif walaupun belum mencapai 1/80 ke atas. mungkin saja disebabkan oleh bakteri lain dalam satu famili Enterobacteriaceae. Hal berhubungan dengan terapi yang diberikan oleh dokter, misal hasil lab titer 1/20 atau 1/40, mungkin dikira dokter infeksi akut, apabila petugas lab yang kena maka akan diberi antibiotika tingkat tinggi seperti kuinolon (cyprofloxacin) atau golongan sefalosporin (cefotaksim). Toleransi tubuh terhadap antibiotik dan reaksi plasmid bakteri akan menyebabkan antibiotik tersebut nantinya akan resisten atau dosis naik. padahal belum tentu demam typhoid.
2. Mungkin saat ini dalam tahap penelitian oleh mahasiswa TLK unhas atas bimbingan Prof.Hatta dari FK unhas secara PCR, tentang antigen lokal Salmonella isolat makassar dan papua, hal ini untuk melihat gen yang mengalami mutasi, resisten obat dan hubungannya dengan antigen penanda infeksi yang dapat dideteksi secara Stick Rapid Test. Ke depannya akan di produksi Rapid Test untuk mendeteksi Salmonella penyebab Demam Typhoid.

by Ahmad Rifani

Senin, 19 April 2010

TES LED

1. Cara Westergren

A. Pra analitik

  1. Persiapan Penderita : tidak memerlukan persiapan khusus
  2. Persiapan sampel: Darah vena dicampur dengan anti koagulan Natrium citrate 3,8 % dengan perbandingan 4 : 1 . Dapat juga dipakai darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0,95 dengan perbandingan 4 : 1.
  3. Prinsip : Mengukur kecepatan sedimentasi sel eritrosit di dalam plasma. Satuannya mm / jam
  4. Alat dan bahan :

a. Pipet Westergren

b. Rak untuk pipet Westergren

c. Natrium Citran 3,8 %

B. Analitik

  1. Isi pipet westergren dengan darah yang telah diencerkan sampai garis tanda 0. pipet harus bersih dan kering.
  2. Letakan pipet pada rak dan perhatikan supaya posisi betul – betul tegak lurus pada suhu 18 – 250ยบ C. Jauhkan dari cahaya matahari dan getaran.
  3. Setelah tepat 1 ( satu ) jam, baca hasilnya dalam mm/jam

C. Pasca analitik

Nilai rujukan Laki – Laki : 0 – 15 mm / jam

Perempuan : 0 – 20 mm / jam


Sumber Kesalahan :

  1. Kesalahan dalam persiapan penderita, pengambilan dan penyiapan bahan pemeriksaan ( lihat bahan pemeriksaan hematology )
  2. Dalam suhu kamar pemeriksaan harus dilakukan dalam 2 jam pertama, apabila darah EDTA disimpan pada suhu 4ยบ C pemeriksaan dapat ditunda selama 6 jam.
  3. Perhatikan agar pengenceran dan pencampurandarah dengan larutan antikoagulan dikerjakan dengan baik,
  4. Mencuci pipa westergren dapat dilakukan dengan cara membersihkannya dengan air, kemudian alcohol dan terakhir acetone. Cara lain adalah dengan membersihkan dengan air dan biarkan kering satu malam dalam posisi vertical. Tidak dianjurkan memakai larutan bichromat atau deterjen.
  5. Nilai normal pada umumnya berlaku untuk 18 – 25ยบ C.
  6. Pada pemeriksaan pipet harus diletakan benar – benar posisi vertical.

Minggu, 11 April 2010

Mengawinkan Mikroba Bagaimana Caranya?

Oleh RETNO WAHYU NURHAYATI

Perkawinan merupakan cara yang dilakukan manusia untuk berkembang biak. Sel ovum dari ibu dan sperma dari ayah bertemu dan kemudian berkembang menjadi individu baru. Selain manusia, sebagian besar hewan juga melakukan perkawinan untuk mempertahankan populasinya.

Berbeda dengan hewan ataupun manusia, jasad renik (mikroorganisme) umumnya tidak melakukan perkawinan untuk berkembang biak. Mikroorganisme, seperti bakteri, melakukan pembelahan sel untuk memperbanyak jumlah populasinya. Proses perkawinan merupakan peristiwa yang jarang terjadi dalam kehidupan bakteri, tetapi bukan berarti bakteri tidak mampu melakukan proses perkawinan. Bakteri tidak memerlukan perbedaan kelamin dalam melakukan perkawinan karena memang bakteri tidak mengenal adanya perbedaan jenis kelamin.

Salah satu proses perkawinan antarbakteri adalah proses konjugasi di mana terjadi perpindahan materi genetik (DNA) bakteri donor ke bakteri resipien (penerima). Umumnya, proses ini bisa terjadi pada bakteri-bakteri yang memiliki kekerabatan yang dekat. Bakteri donor harus memiliki pili seks, yakni organel (bagian dari sel bakteri) yang bisa digunakan sebagai selang suntik ke bakteri resipien.

Selain itu, bakteri penerima harus bersifat kompeten atau mau menerima donor materi genetik dari bakteri lain. Kondisi inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan terjadinya perkawinan antarbakteri secara alamiah.

Prinsip konjugasi telah memberikan inspirasi bagi ilmuwan dalam memperbaiki sifat genetis bakteri (rekayasa genetika). Kloning bakteri merupakan cara yang umum dilakukan untuk memperbaiki sifat bakteri.

Secara sederhana, perbaikan sifat bakteri dengan proses kloning dapat digambarkan sebagai berikut: bakteri A memiliki kemampuan dalam memakan limbah pertanian, tetapi tidak memiliki kemampuan dalam menghasilkan etanol (bahan bakar nabati). Kita menginginkan bakteri tersebut dapat mengubah limbah menjadi etanol.

Etanol dalam sel bakteri

Pertama-tama, kita harus mengetahui mekanisme produksi etanol di dalam sel bakteri. Setelah diketahui gen yang berperan dalam produksi etanol, kita dapat memasukkan gen tersebut ke dalam bakteri A (bakteri target). Bakteri A yang telah mengandung gen tersebut diharapkan akan tetap memiliki kemampuan mengonsumsi limbah dan sebagai tambahan, bakteri tersebut juga mampu memproduksi etanol.

Dalam praktiknya, proses kloning tidak mudah untuk dilakukan. Proses kloning memerlukan teknologi yang memadai dalam penerapannya. Kloning memerlukan pengetahuan lengkap mengenai jalur metabolisme dari bakteri target. Kadang kala di dalam bakteri target terdapat beberapa jalur metabolisme yang menghambat ekspresi (hasil kerja) dari gen yang dimasukkan.

Contohnya, meski telah dimasukkan gen yang bertanggung jawab dalam produksi etanol, tetapi bakteri A tetap tidak mampu menghasilkan etanol karena dalam bakteri A terdapat jalur metabolisme yang memblokir jalur produksi etanol.

Oleh karena itu, bakteri yang bisa dijadikan sebagai bakteri target terbatas hanya untuk bakteri yang telah selesai dikarakterisasi (diteliti sifat genetiknya), seperti Escherichia coli.

”Genome shuffling”

Baru-baru ini, beberapa penelitian dilaporkan telah berhasil memperbaiki sifat bakteri dengan teknik perkawinan langsung antarmikroba. Teknik ini disebut sebagai genome shuffling.

Penelitian Zhang et al. (2002) dilaporkan berhasil menggunakan teknik tersebut untuk meningkatkan produksi tilosin (antibiotik) pada Streptomyces fradiae begitu pula penelitian yang dilakukan Hida et al. (2007) telah berhasil meningkatkan produksi asam hidroksisitrat (bahan baku obat).

Teknik tersebut juga berhasil menggabungkan sifat 2 bakteri yang berbeda sehingga terbentuk bakteri baru yang memiliki kemampuan dalam menfermentasi limbah pati-patian menjadi asam laktat (bahan pengawet alami) (John et al. 2008).

Prinsip dari perkawinan langsung antarbakteri (genome shuffling) adalah penggabungan dua/lebih sel bakteri yang memiliki sifat unggul sehingga dihasilkan bakteri baru yang memiliki sifat unggul dari kedua induknya. Proses ini bisa terjadi secara alami, tetapi kemungkinannya sangat kecil. Beberapa kendala yang menghambat terjadinya perkawinan antarbakteri telah berhasil diatasi oleh para ilmuwan. Beberapa penelitian telah menemukan kondisi optimal yang memungkinkan perkawinan antarbakteri menjadi lebih mudah dilakukan.

Perkawinan antarbakteri merupakan hal yang tidak lazim karena setiap bakteri memiliki bagian pelindung berupa dinding sel. Adanya dinding sel ini akan mencegah materi/benda asing masuk ke dalam sel. Tentu saja, hal ini sekaligus menyebabkan proses perkawinan antarbakteri sulit terjadi.

Dalam teknik genome shuffling, dinding sel bakteri dihilangkan dengan menggunakan enzim khusus, seperti lisozim dan mutanolisin. Sel-sel bakteri yang telah kehilangan dinding selnya kemudian dicampurkan sehingga antarsel akan saling bergabung (fusi) membentuk sel baru. Hasil penggabungan antarsel ini masih belum memiliki dinding sel.

Sel ini harus ditempatkan pada lingkungan yang memiliki tekanan osmotik yang sesuai karena tanpa dinding sel, suatu sel akan sangat rawan pecah. Dinding sel harus segera dibentuk kembali supaya bakteri baru tersebut mampu hidup secara normal.

Proses pembentukan dinding sel dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri hasil fusi tersebut di media pertumbuhan yang sesuai.

Perkawinan antarbakteri terjadi secara acak sehingga sifat dari bakteri hasil fusi ini memiliki kemungkinan sifat yang beragam. Oleh karena itu, tahap selanjutnya dari genome shuffling adalah menyeleksi bakteri hasil fusi menggunakan metode seleksi yang spesifik, seperti teknik PCR (polymerase chain reaction) untuk memilih bakteri dengan sifat yang sesuai dengan yang kita inginkan.

Perkawinan antarbakteri (genome shuffling) merupakan suatu teknik yang cukup aplikatif untuk diterapkan di Indonesia. Teknik ini tidak memerlukan peralatan yang canggih dalam pelaksanaannya. Teknik ini relatif lebih efisien dan murah dibandingkan dengan teknik rekayasa genetika lainnya.

Hampir semua bakteri dapat direkayasa menggunakan teknik ini sehingga teknik ini dapat mempermudah kita dalam memperbaiki sifat genetis bakteri lokal Indonesia. Mengingat Indonesia memiliki biodiversitas yang luar biasa kaya, teknik ini memberikan solusi bagi kita untuk mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia terutama mikroorganisme dengan biaya yang lebih terjangkau.

RETNO WAHYU NURHAYATI Magang di Laboratorium Carbohydrate and Bioengineering Research Group Puslit Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

sumber : http://sains.kompas.com



Sabtu, 10 April 2010

Flebotomi

Apa sih makna sebuah flebotomi. Siapa pelaksananya. Dalam praktek secara Internasional perawat/suster ruangan yang mengantar darah ke laboratorium, jadi bukan petugas laboratorium yang berkeliling ke ruang perawatan. Beberapa RS besar di Indonesia (Pulau Jawa) seperti RSUPN dr.Ciptomangun Kusumo, RSUD Hasan Sadikin Bandung, RSUP Kariadi Semarang, RSUD Dr.Sutomo dan RSUP dr.Sardjito Yogyakarta, rata-rata pengambilan darah dilakukan oleh perawat ruangan. Mungkin volume pasien yang besar dan luas RS nya. Yang menjadi kendala saat ini di luar pulau jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua) dan ada beberapa titik RS di pulau jawa, pengambilan darah dilakukan oleh analis, padahal dalam kurikulum SKS kuliah analis tidak ada “flebotomi”, sedangkan di keperawatan ada mata kuliah flebotomi. Cuma tidak tahu persis karena tidak melihat langsung transkrip ini.
Saya mengajak teman-teman Analis yang bekerja di RSUD dan RS Swasta untuk bangkit dan sadar tentang makna flebotomi ini. Apalagi sekarang ada angin baru tentang AKREDITASI LABORATORIUM RS, sehingga dapat direvisi Protap (SOP) laboratorium. Masukkanlah tentang flebotomi ini. Untuk flebotomi bolehlah kita mengambil darah pasien poliklinik dan rawat jalan yang datang ke laboratorium.
Saat ini kita tersesat dan di doktrin bahwa sampling darah adalah bagian pra analitik yang memegang peranan dalam kualitas/validitas hasil laboratorium secara keseluruhan. Padahal boleh saja berkata begitu, namun kita semua berpegang pada protap (SOP) tentang tata cara penilaian spesimen datang dan tata cara penolakan spesimen yang tidak memenuhi syarat. Coba anda bayangkan dan pikirkan, saat dinas sore dan malam atau dinas pagi hari minggu sendiri di laboratorium, ada telpon dari ruangan penyakit dalam periksa darah, anda ke sana, kembali ke lab, terus belum sempat anda kerjakan ada telpon lagi 2 sekaligus di ruang IGD ada pasien dan ruang anak 2 orang pasien, ada pergi lagi, kembali ke lab, mantap sekali mirip seterika atau angkot. Anda pasti dech ditertawakan perawat ruangan. Yang menjadi pertanyaan saya :
  1. Apakah anda dinas sore/malam sendirian atau berdua?
  2. Apabila sendiri. Siapa yang menjadi rujukan pembanding/bertanya bila hasil tidak tepat dan teliti?
  3. Bagaimana kualitas spesimen yang anda tinggalkan di lab dari ruang penyakit dalam sementara anda pergi lagi ke ruang perawatan lain?
  4. Berapa lama penundaan yang anda lakukan pada spesimen itu?
  5. Apakah anda sudah mencek dan memberi label spesimen? Apakah tertukar?
  6. Sudahkah anda register di buku register pasien periksa lab yang baru?
  7. Bagaimana dengan ruang lab yang kosong anda tinggalkan saat sampling?
  8. Bagaimana suasana mencekam malam hari jam 03.00 anda pergi sendiri?
  9. Bagaimana perasaaan anda saat di telpon jam 02.00 malam hari sedang enak-enaknya tidur pergi keluar lab? Adakah rasa ikhlas?
  10. Saat mengerjakan spesimen apakah ada diselang waktu oleh pengambilan darah lagi keruangan?
  11. Apakah saat pengerjaan spesimen, ada dokter yang minta cepat? Atau perawat sekalian?
  12. Yakinkah anda dengan hasil yang anda keluarkan benar dan valid?
  13. Sempatkah terpikir untuk mencek, memvalidasi, menghubungkan hasil dengan klinis pasien karena pekerjaan yang tidak fokus, tergesa-gesa, ngantuk dan dikejar waktu/target?
  14. Sudahkah anda punya perda tentang tarif cyto lab? Apakah pasien cyto anda tambahkan tarif khusus?
  15. Terakhir apakah hasil laboratorium anda antar ke ruang perawatan atau perawat yang mengambil?
  16. Betapa kompleks dan beratnya beban analis mulai dari pra analitik, analitik dan pasca analitik.....
Melihat kondisi ini sebenarnya masih bisa di tangani oleh petugas lab/analis dengan beban kerja yang kecil dengan volume pasien Cuma 1-6 pasien per dinas sore atau malam dengan RS yang kecil. Bagaimana dengan volume pasien 6-15 pasien per dinas sore/malam dengan gedung RS yang luas hingga mencapai 500 meter panjang dan lebar 200 meter. Luar biasa sekali capeknya berjalan, belum lagi sendirian. Untuk itu maka perlulah suatu komitmen bahwa tugas analis dalam laboratorium sangatlah kompleks sampai keluar hasil laboratorium. Menurut saya kalau masalah flebotomi sebaiknya di serahkan saja kepada pihak perawatan. Ada beberapa teknik cara untuk melepaskan diri dari flebotomi :
  1. Coba cari ijazah transkrip perawat dan fotokopi dan beri tanda klo memang adamata kuliah Flebotomi. (Seingat aku saat kerja di RS Islam saya pernah beri nilai kepada mahasiswa Akper setempat nilai flebotomi dalam askep) dan sandingkan dengan Transkrip Analis.
  2. Kalau anda menghadapi akreditasi pokja laboratorium, usahakan tanyakan kepada trainer dari pusat tentang siapa kewenangan mengambil darah, minta dasar hukum dan UU dan acuannya serta buku Pedoman Pengelolaan Laboratorium RS terbaru.
  3. Lakukan studi banding saat pokja laboratorium akan akreditasi dengan kunjungan ke RS besar seperti RSUPN Cipto mangunkusumo, RSUD Hasan Sadikin Bandung, RSUP Kariadi Semarang, RSUP Sardjito Yogyakarta, RSUD Sutomo Surabaya, RSUP Sanglah Denpasar dan RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar. Mintalah protap tentang pengambilan darah dan siapa pengambil darah. Bila perlu direkam suara petugas laboratorium/DSPK yang memberikan keterangan ini. Sosialiasikan hasil dalam forum pertemuan rapat umum dengan perawat dan jadikan sebuah protap laboratorium sebagai peraturan RS dengan SK direktur. Pasti ada pertentangan dengan perawat. Dijamin pasti dan pasti.
  4. Dokter Spesialis lulusan RS besar di jawa pasti tidak akan membantah dengan protap kita ini, karena memang dia melihat dan mengalami sendiri saat kuliah jadi residen spesialis.
  5. Biarkanlah jasa pelayanan sampling milik perawat. Ada beberapa teman analis mungkin tidak suka karena sayang uang menguap keluar lab, menurut saya sampling cuma 5-10% dari total jasa pelayanan lab. Relakan saja.
  6. Dalam tahap sosialisasi pasti dech perawat tidak suka dan senang memberi beban bagi mereka, apabila tidak mau mereka biarlah sementara laboratorium jangan mengambil darah dan biarkan laboratorium melayani poliklinik, lihat reaksi dari pihak atas dan direktur, bila perlu mogok dan tutup laboratorium. Sekedar diketahui aja, bahwa rangking pendapatan RS terbesar : Apotik, Bedah, Obgyn, Laboratorium, Radiologi dan lainnya. Tidak akan mungkin direktur membiarkan ini menjadi suatu polemik dan takut berkurang omset RS dari lab terhenti, pasti ada jalan keluarnya.
  7. Apabila sulit dan ditidak bisa dikompromikan, mungkin ada perlu meminta perawat ruangan atau perawat baru honor untuk bekerja di laboratorium khusus sampling darah saja dan ikutkan dia pelatihan flebotomi. Mengenai jasa pelayanan tergantung kebijakan masing-masing laboratorium apakah dibagi rata, persen atau sedikit saja.
  8. Dalam akreditasi di katakan dan dikehendaki bahwa laboratorium dibagi menjadi beberapa bagian : Lab induk, lab IGD dan Blood Bank dengan atau tanpa lab PA dan Mikrobiologi. Perlu ditekankan bahwa untuk pembagian kerja yang optimal maka perlu dibagi sesuai peruntukannya. Saat ini sangat ditekankan kepada RS kabupaten mendirikan UTDRS dan RS di ibukota propinsi mendirikan Blood Bank. Ini tertulis pada akreditasi lanjutan 2 (tahap 3) tentang akreditasi Blood bank/UTDRS. Adanya lab IGD membantu dalam memisahkan beban dan tanggung jawab lab Induk dan pemeliharaan alat lab induk.
  9. Dalam Protap dari pokja lab standar 5 protap 2 (S2P2) penanganan spesimen : Petugas lab memperhatikan penanganan spesimen, Menilai spesimen yang masuk ke lab, menilai spesimen yang tidak layak dan tindakan penolakan spesimen. Perlu saya tekankan perlu diolah protap ini untuk memperkuat bahwa spesimen yang datang wajib dinilai dan ditolak bila lisis, beku, kurang volume. Melihat ini secara tidak langsung bermakna bahwa spesimen memang datang dari perawatan dan diambil oleh perawat.
  10. Lalu bagaimana dengan Buku Petunjuk Angka Kredit Pranata Labkes : dikatakan “melakukan pengambilan spesimen secara sederhana” disana tertulis buka flebotomi, bukan mengambil darah, itu mengandung makna luas, mengambil spesimen air, limbah, makanan, ataupun urine, faeces. Jadi jangan terkecoh bahwa disana mengandung makna mengambil darah saja. Seandainya tertulis “ melakukan flebotomi pada pasien” berarti memang benar kita yang mengambilnya.
  11. Dalam Standar Kompetensi Analis Kesehatan, untuk parameter dasar hematologi, tidak dicantumkan flebotomi masuk dalam pekerjaaan laboratorium. Coba tanya asesor yang lulus sertifikasi kompetensi analis kesehatan.
  12. Usaha dan tulisan saya ulas untuk pembelaan secara langsung tenaga laboratorium kesehatan khususnya kita sebagai segolongan analis kesehatan dan mengenai keberadaan DSPK merupakan tanggung jawab mereka dalam klinis/medis, karena kita mengulas tentang manajemen teknis yang menjadi tanggung jawab seorang S1 TLK/D4 Analis Kesehatan.
  13. Sudah saatnya kita menunjukkan yang memang hak kita, kita ambil dan bukan hak kita kita tinggal
( Kutipan Bubuhan Analis Banjar/Ahmad Riphani)

Jumat, 02 April 2010

TES GDS STRIP II

PRA ANALITIK

  • PERSIAPAN PASIEN
    1. Glukosa darah sewaktu ( GDS ) : tes dilakukan tanpa persiapan
    2. Glukosa darah puasa ( GDP )

- Pasien dipuasakan 8 – 12 jam sebelum tes

- Semua obat dihentikan dulu, bila ada obat yang harus diberikan ditulis pada formulir permintaan test.

3. Glukosa darah 2 jam post prandial ( GD2PP) :

- Dilakukan 2 jam setelah makan setelah tes GDP

- Pasien diberikan makanan yang mengandung 100 gram karbohidrat

Sebelum tes dilakukan

  • PERSIAPAN SAMPEL

Sampel merupakan whole blood

  • ALAT DAN BAHAN

- Lancet

- Glukocard test strip II

- Strip test

- Whole blood

ANALITIK

  1. Masukan tes kalibrasi pada alat, pada monitor akan menunjukan F – 5
  2. Persiapan tes : buka foil pada strip, jangan menyentuh strip tapi pergunakan foil
  3. Untuk memegang stip yang telah terbuka
  4. Masukan kedalam alat, pada monitor akan menunjukan F – 5, kemudian hasil tes sebelumnya akan nampak
  5. Teteskan sampel pada ujung strip sampai terdengar tanda yang berarti strip sudah terisi penuh
  6. Hasil akan muncul dimonitor setelah 60 detik

    PASCA ANALITIK

    Interpretasi

    TES

    BUKAN DM

    BELUM PASTI DM

    DM

    GDS

    <>

    90 – 199 mg / dl

    ≥200 mg / dl

    GDP

    <>

    90 – 109 mg / dl

    ≥110 mg / dl

    GD2PP

    <>

    120 – 200 mg / dl

    > 200 mg / dl

    Linearitas alat:-

1. Alat mengeluarkan hasil ‘Lo’ bila nilai glukosa di bawah 40 mg / dl
2. Alat mengeluarkan hasil ‘ Hi ‘ bila nilai glukosa diatas 500 mg / dl